GWI Lakukan Konferensi Pers Terkait RSUD Aulia Pandeglang Diduga Memberikan Struk Tagihan Tak Bertanda Tangan Dan Tak Ada Stempel

oleh -46 Dilihat
oleh
GWI Lakukan Konferensi Pers Terkait RSUD Aulia Pandeglang Diduga Memberikan Struk Tagihan Tak Bertanda Tangan Dan Tak Ada Stempel

PANDEGLANG- Matadunianews.com- Polemik pelayanan pasien BPJS kembali mencuat di Kabupaten Pandeglang. RSUD Aulia Pandeglang diduga mengalihkan status pasien BPJS menjadi pasien umum dengan alasan pasien tidak sampai 24 jam dirawat. Kasus ini menimpa Kasa (72), warga Desa Sumurlaban,
Kecamatan Angsana, yang pada
tgl 27 September 2025 masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Aulia dengan keluhan sesak napas.

Dalam konferensi yang di lakukan oleh GWI bertitik lokasi di Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang provinsi Banten pada Jum’at/03/10 Pukul 10: 00 Wib.
Menurut keterangan Direktur RSUD Aulia,
Dr. Rita Permata Sari mengatakan.” Pasien awalnya masuk menggunakan BPJS dan sudah diinput dalam sistem. Karena kondisi sesak, pasien diputuskan untuk dirawat inap guna observasi lanjutan. Namun, sebelum 24 jam, pasien meminta pulang atas kemauan sendiri. “Kalau pasien pulang atas permintaan sendiri, maka sesuai PP Nomor 82 Tahun 2018 memang tidak ditanggung BPJS,” ujarnya.

Namun persoalan yang menjadi sorotan bukan hanya gugurnya klaim BPJS, melainkan bukti pembayaran yang diterima pasien berupa kwitansi tanpa stempel dan tanda tangan resmi RSUD. Terkait hal ini, Angga Iskandar Winata, Kasubag RSUD Aulia, berdalih hal itu murni “human error”. “Kwitansi yang benar sebenarnya ini. Tapi ya, human error itu sifatnya manusiawi, karena kita bukan malaikat,” ucapnya.

Pernyataan itu membuat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, Hj. Eniyati, SKM., M.Kes, kecewa. Ia menegaskan bahwa aturan pasien pulang sebelum 24 jam memang jelas tidak ditanggung BPJS, tetapi fatal jika bukti tagihan tidak sah. “Saya kaget melihat nota penagihan tanpa cap dan tanda tangan. Itu fatal. Walaupun sudah dijelaskan pihak RSUD bahwa itu human error, tetap saja hal seperti ini tidak boleh terjadi,” katanya.

Menanggapi hal itu, Raeynold Kurniawan, Ketua GWI (Gabungannya Wartawan Indonesia) DPC Pandeglang, dalam konferensi pers dengan tegas menyatakan kecurigaannya. “Kalau ini disebut human error, kami tidak bisa mentolerir. Karena ini menyangkut hal vital: hak rakyat kecil. Jangan-jangan BPJS-nya tetap dicairkan, sementara pembayaran pasien secara tunai juga diterima. Itu yang menjadi kecurigaan kami,” tegas Raeynold.

Ia menambahkan, dalih human error tidak masuk akal karena struk pembayaran tercetak dengan komputer. “Ini bukan tulisan tangan, ini hasil cetakan komputer. Jadi kalau dibilang human error, memangnya listrik padam? Lagi pula, RSUD beroperasi 24 jam. Jadi alasan itu jelas mengada-ada,” tambahnya.

Sementara itu, Jaka Somantri, Sekjen AWDI (Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia) DPC Pandeglang, menegaskan bahwa kejadian ini bukan perkara kecil. “Ini menyangkut transparansi dan integritas pelayanan kesehatan. Jangan sampai masyarakat kecil selalu jadi korban, sementara pihak rumah sakit berlindung di balik alasan sepele,” ujarnya.

Dari aspek hukum, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menegaskan:

Pasal 19 ayat (2): “Peserta berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.”

Pasal 20 ayat (1): “Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya.”

Sementara Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan juga mengatur dengan jelas:

Pasal 52 ayat (1) huruf j: pelayanan kesehatan tidak dijamin BPJS apabila “peserta pulang atas permintaan sendiri”.

Namun, pada Pasal 58 ayat (1) ditegaskan: “Fasilitas kesehatan wajib memberikan pelayanan sesuai indikasi medis yang diperlukan dan tidak boleh menolak peserta.”

Dengan demikian, meski pasien pulang atas kemauan sendiri hingga klaim BPJS gugur, pihak RSUD tetap wajib menjaga prosedur administrasi yang sah dan transparan. Bukti pembayaran tanpa stempel dan tanda tangan resmi bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran prinsip akuntabilitas publik.

Kasus ini kembali membuka luka lama soal lemahnya pengawasan layanan BPJS di daerah. Publik kini menanti langkah tegas dari Dinas Kesehatan dan aparat penegak hukum, agar kasus serupa tidak berulang dan kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik tidak semakin terkikis.

 

Penulis (Toni YS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.