Diksi ,Wajib, dari Menkomdik: Ancaman Halus terhadap Kebebasan Pers di Indonesia

oleh -36 Dilihat
oleh
Diksi ,Wajib, dari Menkomdik: Ancaman Halus terhadap Kebebasan Pers di Indonesia

JAKARTA— Aroma arogansi kekuasaan kembali tercium dari ruang pemerintahan. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menuai sorotan tajam setelah menyebut bahwa pemerintah daerah “wajib” bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sekilas terdengar seperti kebijakan administratif biasa, namun bagi banyak kalangan, kata “wajib” itu membawa pesan berbahaya: adanya upaya halus untuk mengekang kebebasan pers.

Plt. Ketua Umum Sekber Wartawan Indonesia (SWI), Herry Budiman, menilai diksi tersebut mencerminkan “mental kontrol” dari pemerintah terhadap dunia jurnalistik. Menurutnya, negara seolah ingin menjadi penafsir tunggal tentang siapa yang pantas disebut wartawan dan siapa yang harus diam. Jika arah kebijakan ini dibiarkan, pers akan berubah menjadi versi birokrasi—berizin, berstempel, dan berkoordinasi,” ujarnya tegas.

Pandangan senada disampaikan Akademisi SWI, Imam Suwandi, yang menyebut kebijakan tersebut sebagai preseden buruk bagi demokrasi. Ia menilai pengakuan hanya terhadap satu organisasi wartawan akan melahirkan kasta baru” di dunia pers, di mana hanya mereka yang dianggap resmi yang akan diakui, sementara lainnya dicap “liar”.

Pendiri SWI, Maryoko Aiko, bahkan menyebut langkah itu bukan bentuk pembinaan, melainkan paksaan berseragam”. Ia menegaskan, ketika pejabat pemerintah mulai menentukan dengan siapa wartawan boleh bekerja sama, maka negara telah melangkah ke ranah yang bukan miliknya — yakni nurani jurnalisme.

Padahal, kebebasan berserikat dan berorganisasi telah dijamin oleh Pasal 28E dan 28F UUD 1945, yang memberikan hak kepada setiap warga negara untuk menyampaikan informasi dan membentuk organisasi secara bebas. Namun, kebijakan yang bersifat memaksa justru berpotensi menabrak semangat reformasi yang selama ini memperjuangkan kebebasan pers dari intervensi kekuasaan.

Bagi banyak kalangan, diksi wajib, itu bukan sekadar perintah administratif, melainkan simbol kembalinya mental otoritarian dalam bungkus kebijakan modern. Ia menandai upaya pengendalian lembut terhadap media yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi.

pers yang dikontrol bukan lagi pers, melainkan alat propaganda dengan wajah berminyak demokrasi palsu,” tulis seorang pengamat media.

Kini publik menanti langkah korektif dari pemerintah agar kebebasan pers tidak kembali direduksi atas nama koordinasi dan kerja sama. Sebab, seperti yang pernah diingatkan para pendiri bangsa — pers yang merdeka adalah napas bagi demokrasi, bukan ancaman bagi kekuasaan.

 

(Edy Ms)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.