PANDEGLANG- Matadunianews.com-Dugaan pelanggaran jam kerja oleh pihak yang mengatasnamakan Bank Mekar atau dikenal dengan sebutan bank emok mencuat di Desa Cibungur, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Pandeglang. Peristiwa ini terjadi pada Senin, 3 November 2025, sekitar pukul 18.30 WIB, ketika rumah warga berinisial AM didatangi oleh seorang penagih yang mengaku dari pihak Bank Mekar.
Waktu penagihan yang dilakukan pada malam hari itu dinilai telah menyalahi aturan serta menimbulkan keresahan di kalangan warga. Penagihan semestinya dilakukan pada jam kerja yang wajar dan sesuai prosedur, bukan di luar batas waktu yang bisa mengganggu privasi masyarakat.
Salah satu warga menyebut bahwa kedatangan penagih tersebut sempat menarik perhatian warga sekitar. “Penagihan malam hari jelas membuat orang tidak nyaman, apalagi dilakukan di rumah warga yang sedang beristirahat,” ujarnya.
Ketika dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, pihak yang mengaku dari Bank Mekar menyatakan bahwa dirinya berada di bawah tekanan dari atasan.
Saya tertekan oleh atasan saya, jadi belum bisa pulang kalau urusan di lapangan belum beres. Coba saja bapak hubungi atasan saya,” tulisnya.
Namun, hingga berita ini dimuat, nomor kontak atasan yang diminta untuk klarifikasi tidak kunjung diberikan. Hal ini menimbulkan dugaan adanya pelanggaran dalam mekanisme kerja dan pengawasan di lapangan.
Melihat kondisi tersebut, Gabungan Wartawan Indonesia (GWI) DPC Pandeglang segera turun ke lapangan untuk melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai dampak sosial dari praktik pinjaman yang tidak beretika.
M. Sutisna, selaku tim investigasi GWI, mengatakan bahwa langkah ini diambil karena pihaknya menemukan adanya efek negatif dari praktik penagihan dan sistem pinjaman yang dijalankan oleh lembaga-lembaga keuangan semacam itu.
Kami datang bukan untuk menghakimi, tapi memberikan ruang diskusi dan solusi agar masyarakat tidak semakin terjerat utang yang bisa merusak keharmonisan rumah tangga,” jelas Sutisna.
Kasus ini juga berdampak pada kehidupan rumah tangga AM. Sang istri, berinisial AT, memilih bekerja sebagai TKW ke luar negeri tanpa kesepakatan yang jelas dengan suaminya karena merasa malu dan tertekan akibat lilitan utang.
Keputusan tersebut membuat AM harus menanggung beban ganda: mengurus rumah tangga dan membesarkan tiga anak yang masih kecil. Anak pertama berusia sekitar 12 tahun, anak kedua 7 tahun, dan anak bungsu 4 tahun. Ketiganya kini tinggal bersama ayah mereka tanpa kehadiran sosok ibu yang dibutuhkan dalam masa tumbuh kembangnya.
Ekonomi sedang sulit, tapi saya berusaha tetap kuat untuk anak-anak. Saya berharap ada ruang untuk mencari jalan keluar bersama,” kata AM dengan nada haru.
GWI Pandeglang menilai, kasus seperti ini tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga berdampak sosial dan psikologis bagi keluarga. Oleh karena itu, masyarakat diimbau agar lebih berhati-hati terhadap lembaga pinjaman yang tidak transparan dan menekan nasabahnya.
Kami mendorong pihak berwenang untuk meninjau kembali praktik penagihan yang dilakukan oleh lembaga keuangan mikro. Harus ada perlindungan hukum dan kepastian etika kerja bagi nasabah,” tambah Sutisna.
GWI berharap kegiatan sosialisasi ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat lainnya untuk lebih terbuka dalam berdiskusi dan mencari solusi atas masalah ekonomi tanpa harus mengorbankan keutuhan keluarga.
Hidup butuh proses, kerja keras, dan keyakinan. Kami ingin keluarga seperti AM bisa bangkit dan menjadi inspirasi bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya,” tutup Sutisna.
Penulis: (Toni Ys)









