Camat Cimalaka dan Lidah yang Lepas Kontrol: Ketegasan atau Arogansi

oleh -29 Dilihat
oleh
Camat Cimalaka dan Lidah yang Lepas Kontrol: Ketegasan atau Arogansi

SUMEDANG- Matadunianews.com– Rapat Minggon di Kecamatan Cimalaka seharusnya jadi rutinitas yang adem, forum diskusi yang menyejukkan, tempat kepala desa dan camat beradu gagasan demi pelayanan publik. Tapi kali ini, yang terlihat bukan senyum dan kesepakatan, melainkan walk out massal—demonstrasi diam para kepala desa yang tak mau jadi korban lidah pejabat yang kehilangan rem.

Pemicunya sederhana: beberapa kepala desa berbisik ringan. Hal kecil, yang di tangan pemimpin beradab akan reda dengan senyum, di tangan Camat Yulia berubah menjadi panggung bentakan. “Ngobrolnya di depan forum saja!” hardiknya, dengan nada yang lebih mirip juru parkir menertibkan mobil liar daripada ucapan seorang pemimpin. Lidah yang seharusnya merangkul, kini jadi senjata.

Menurut media online, Camat Yulia menegaskan dirinya hanya melaksanakan tupoksi: bertindak tegas. Namun, tegas sangat berbeda dengan arogan. Kepala desa menegaskan, sikap yang dilontarkan lebih condong ke arogansi. Lebih ironis lagi, secara hukum, kepala desa bertanggung jawab langsung kepada bupati, bukan camat, sebagaimana diatur UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP No. 43 Tahun 2014.

Sejurus kemudian, forum yang seharusnya hangat berubah tegang. Kepala desa, ujung tombak pelayanan masyarakat, diperlakukan layaknya murid nakal yang kena hukuman guru. Datang sebagai mitra, pulang dengan harga diri yang tergerus. Siapa yang betah duduk manis saat pemimpinnya lebih galak daripada kepala sekolah? Adab, kata pepatah, lebih utama daripada ilmu—tapi nyatanya, adab seakan tercecer di lantai kantor kecamatan.

Pesan para kepala desa tegas: komunikasi akan terhenti sampai ada permintaan maaf hitam di atas putih. Jabatan boleh sementara, tetapi sopan santun dan adab adalah harga mati.

Fenomena ini menjadi kritik tajam: seorang camat adalah wajah pemerintah di level terdekat dengan warga. Tapi wajah itu kini ternoda oleh lidahnya sendiri. Harusnya menjadi jembatan, kini memasang tembok berduri. Harusnya menjadi payung peneduh, malah jadi petir di siang bolong.

Kalau memimpin hanya soal suara keras dan bentakan, semua orang bisa jadi camat. Tetapi memimpin sejati adalah seni merangkul, meneduh, dan menyejukkan. Camat Yulia diuji: apakah lidahnya bisa dijinakkan, atau justru menjadi alasan runtuhnya wibawa sebelum benar-benar tegak?

Dan pertanyaan yang paling pedas: jika kepala desa saja diperlakukan seperti ini, bagaimana nasib warga biasa yang datang mengadu jalan rusak, drainase macet, atau minta surat miskin? Akankah mereka pulang membawa solusi, atau luka hati akibat lidah pejabat yang kehilangan kendali?.

 

(Edy ms).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.