LEBAK- Matadunianews.com- Kasus dugaan pelanggaran upah dan perlakuan tidak manusiawi di sebuah kedai ayam geprek di Jalan Rd. Winangun, Kabupaten Lebak Banten, terus bergulir dan menyita perhatian publik. Setelah video viral dari akun TikTok @rangdakurungan (Neng Kumis) menguak persoalan tersebut, kini muncul perhatian lebih luas terhadap pola manajemen di kedai itu yang dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan karyawan.
Sejumlah warga dan mantan pekerja menuturkan bahwa pergantian karyawan di kedai itu sangat tinggi. Hampir setiap bulan ada pegawai baru yang masuk dan tidak lama kemudian berhenti atau diberhentikan tanpa alasan yang jelas.
Salah seorang mantan karyawan yang ditemui media mengaku, suasana kerja di kedai tersebut kerap membuat stres karena tekanan emosional dari pemilik.
“Saya dan teman-teman sering dimarahi di depan pelanggan. Kadang cuma karena hal sepele. Banyak yang akhirnya memilih keluar karena nggak kuat mentalnya,” ungkapnya, Rabu (23/10/2025).
Menurut seorang tokoh masyarakat setempat, pola seperti ini mencerminkan lemahnya kesadaran pelaku usaha terhadap pentingnya perlakuan manusiawi dan manajemen kerja yang sehat.
“Usaha bisa maju kalau ada keseimbangan antara disiplin dan rasa kemanusiaan. Pemilik kedai seharusnya bisa lebih menghargai tenaga kerja yang membantu keberlangsungan usahanya,” ucapnya.
Lembaga Sosial Desak Pemeriksaan dan Edukasi
Direktur Lembaga Sosial Rakyat Peduli Buruh dan Pekerja (RAPEBU), Siti Komalasari, menilai kasus seperti ini tidak boleh dianggap remeh. Menurutnya, banyak pekerja sektor informal, terutama di bidang kuliner, yang tidak memiliki kontrak kerja jelas sehingga mudah menjadi korban perlakuan tidak adil.
“Kasus ini adalah potret nyata ketimpangan di lapangan. Banyak pemilik usaha kecil yang tidak memahami bahwa pekerja, meski informal, tetap memiliki hak yang dilindungi oleh undang-undang,” tegas Siti.
Ia juga menambahkan, selain aspek hukum, perlu ada pendekatan edukatif agar para pelaku UMKM memahami prinsip dasar etika ketenagakerjaan, termasuk pemberian upah layak, waktu kerja manusiawi, dan komunikasi yang menghargai martabat pekerja.
“Kalau setiap pelaku usaha mau belajar sedikit saja tentang hak pekerja, saya yakin konflik seperti ini tidak akan terus berulang,” tambahnya.
Pemerhati ketenagakerjaan asal Banten, Arif Rahman, turut menyoroti persoalan ini. Menurutnya, tingginya tingkat pergantian karyawan menunjukkan adanya masalah serius dalam manajemen sumber daya manusia.
“Pergantian pekerja yang terlalu sering adalah indikator bahwa sistem kerja tidak sehat. Mungkin upah rendah, suasana kerja tidak nyaman, atau ada tekanan dari atasan. Ini seharusnya jadi bahan evaluasi,” ujarnya.
Arif menegaskan, pemerintah daerah melalui Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) seharusnya turun tangan memberikan pembinaan kepada pelaku usaha di sektor mikro agar memahami hak-hak dasar pekerja dan kewajiban pengusaha.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak pemilik kedai ayam geprek tersebut belum memberikan tanggapan resmi terkait berbagai tudingan yang berkembang. Publik kini menantikan respons konkret dari pihak berwenang, agar kasus ini tidak hanya berhenti sebagai sensasi viral di media sosial, tetapi benar-benar menjadi momentum perbaikan.
Kasus ini sekaligus menjadi cermin lemahnya perlindungan pekerja di sektor informal, dan menjadi pengingat bahwa keberhasilan usaha tidak hanya diukur dari keuntungan, tetapi juga dari cara memperlakukan manusia yang ikut berjuang di dalamnya.
(Red)